Tentang Kota Makassar (Bagian 3)

Pada awalnya, kegiatan perdagangan utama di bekas bandar dunia ini adalah pemasaran budak serat menyuplai beras kepada kapal-kapal VOC yang menukarkannya dengan rempah-rempah di Maluku. Pada tahun 30-an abad ke-18 pelabuhan makassar dibuka bagi kapal-kapal dagang Cina: komoditi yang dicari para saudagar Tionghoa di Sulawesi itu pada umumnya berupa hasil laut dan hutang seperti teripang, sisik penyu, kulit kerang, sarang burung dan kayu cendana, sehingga tidak dianggap sebagai langgarn dan persaingan bagi monopoli jual-beli rempah-rempah dan kain yang didirikan VOC. Sebaiknya, barang dagangan Cina, terutama porselen dan kain sutera, dijual para saudagarnya dengan harga yang lebuh murah di Makassar daripada yang bisa didapat oleh pedagang asing di Negeri Cina sendiri.
Adanya pasaran baru itu mendorong kembali aktivitas maritim penduduk kota dan kawasan Makassar: Terutama penghuni pulau-pulau di kawasan Supermonde mulai ‘menspesialisasikan diri’ sebagai pencari teripang, komoditi utama yang dicari para pedagang Cina, dengan menjelajahi seluruh Kawasan Timur Nusantara untuk mencarinya; bahkan, sejak pertengahan abad ke-18 para nelayan-pelaut Sulawesi secara rutin berlayar hingga pantai utara Australia, di mana mereka tiga sampai empat bulan lamanya membuka puluhan ‘lokasi pengolah teripang’. Sampai sekarang, hasil laut masih merupakan salah satu mata pencaharian utama bagi penduduk pulau-pulau dalam wilayah kota Makassar.

Setelah pemerintah kolonial Hindia Belanda menggantikan kompeni perdagangan VOC yang bangkrut pada akhir abad ke-18, Makassar dihidupkan kembali dengan menjadikannya ‘pelabuhan bebas’ pada tahun 1846. Tahun-tahun berikutnya menyaksikan kenaikan volume perdagangan yang pesat, dan kota Makassar berkembang dari sebuah pelabuhan backwater menjadi kembali suatu bandar internasional. Dengan semakin berputarnya roda perekonomian Makassar jumlah penduduk meningkat dari sekitar 15.000 penduduk pada pertengahan abad ke-19 menjadi kurang lebih 30.000 jiwa pada awal abad berikutnya. Makassar abad ke-19 itu dijuluki “kota kecil terindah diseluruh Hindia-Belanda” (Joseph Conrad, seorang penulis Inggris-Polandia terkenal), dan menjadi salah satu port of call utama bagi baik para pelaut-pedagang Eropa, pasaran dunia maupun perahu-perahu pribumi yang beroperasi di antara Jawa, Kalimantan, Sulawe dan Maluku.
Pada abad ke-20, Belanda akhirnya menaklukkan daerah-daerah independen di Sulawesi, Makassar dijadikan pusat pemerintahan kolonial indonesia Timur. Tiga-setengah dasawarsa Pax Neerlandica, ‘kedamaian di bawah pemerintahan kolonial’, itu adalah masa tanpa perang paling lama yang pernah dialami Sulawesi Selatan, dan sebagai sebab ekonominya berkembang dengan pesat. Penduduk Makassar dalam kurung waktu itu meningkat sebanyak tiga kali lipat, dan wilayah kota diperluas ke semua penjuru. Dideklarasikan sebagai kota madya pada tahun 1906, makassar tahun 1920-an adalah kota besar kedua diluar jawa yang membanggakan dirinya dengan sembilan perwakilan asing, sederatn panjang toko di tengah kota yang menjual barang-barang mutakhir dari seluruh dunia dan kehidupan sosial –budaya yang dinamis dan kosmopolitan.

Perang Dunia kedua dan terbentuknya Republik Indonesia, sekali lagi mengubah wajah Makassar: Hengkangnya sebagian besar warga ‘asingnya’ pada tahun 1949 dan ‘nasionalisasi’ perusahaan-perusahaan asing pada akhir tahun 1950-an menjadikannya kembali sebuah kota ‘provinsial’. Bahkan, sifat ‘ke-Makassar-an’ pun semakin menghilang dengan kedatangan warga baru dari daerah-daerah pedalaman yang berusaha menyelamatkan diri dari kekacauan akibat berbagai pergolakan pasca-revolusi: Antara tahun 1930-an sampai tahun 1961 jumlah penduduk meningkat dari kurang lebih 90.000 jiwa menjadi hampir 400.000 orang, lebih daripada setengahnya pendatang baru dari wilayah luar kota. Hal ini dicerminkan dalam penggantian nama kota menjadi Ujung Pandang berdasarkan julukan ‘Jumpandang’ yang selama berabad-abad lamanya menandai Kota Makassar bagi orang pedalaman pada tahun 1971- baru pada tahun 1999 kota ini dinamakan kembali Makassar.
Sumber gambar : KITLV, Amsterdam